MAU DI BAWA KEMANA PERUT BUMIKU..??!!
Saya masih teringat salah satu sesi kampanye Anis Baswedan, yang sekarang telah menjadi Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Republik Indonesia. Ketika itu Anis masih menjadi juru bicara tim sukses Capres No. 2 : Jokowi-JK. Tanpa sengaja saya melihat rekaman kampanye Anis di salah satu kampus, yah.. tentu saja saya tidak tahu dan sudah lupa apa nama kampusnya, yang jelas bukan di kampus saya dulu..
Berkat akses internet lumayan bagus di kantor tepat saya bekerja, saya dapat menonton beberpa video yang disimpan di server youtube dalam satu hari.. Kembali ke Anis, di dalam video youtube itu, Anis memberikan semacam pencerahan kepada para mahasiswa tentang bagai mana memilih seorang pemimpin yang akan menjadi presiden di republik ini.
Anis Baswedan mengkampanyekan kenapa dia pilih mendukung Jokowi-JK, dan bukan mendukung Pasangan No.1 : Prabowo-Hatta. "Saya memilih pemimpin yang memiliki pemikiran yang baru, yang tidak berfikir bahwa sumber kekayaan terbesar bangsa ini adalah alamnya, tetapi sunggu harta paling berharga yang dimiliki oleh negeri ini adalah manusianya, ya, bukan SDA tapi SDM, karena hanya pola pikir kolonial-lah yang berfikir bahwa kekayaan sebuah negara adalah alam", tegas penggagas "Indonesia mengajar" itu. "dahulu bangsa kolonial telah mengeruk kekayaan kita, tidak ada yang dipikirkan dan dikerjakan selain bagai mana caranya mengeksploitasi kekaayaan alam, mau contoh? rel-rel kereta api di bangun dengan pendekatan sumber daya alam, bukan sumber daya manusia, coba lihat..!! rel dibangun ke Tanjung Enim, Sumatera Selatan, juga di Sawah Lunto, Sumatera Barat, dibangun jalur rel kereta ke sumber batu bara, itulah pola pikir bangsa kolonial", lanjut Anis.
Hal yang membuat saya selalu ingat materi kampanye Anis ini adalah karena saya tinggal di Kabupaten Muara Enim, tepatnya di Ibu Kota Muara Enim yang bersisihan dekat dengan Tanjung Enim, tempat yang disebut Anis di atas. Rel kereta api malang melintang di tengah kota, entah dari mana-ke mana saya sampai nggak ngerti lagi, rasa-rasanya mau kesana, ketemu rel, mau kesani, ketemu rel, deket kontrakan ketemu rel, ke pasar lewat rel, mau ke kantor, nyebrang rel. Nah, yang terakhir ini kadang membuat saya merasa sedih.
Sebelum saya lanjutkan ke pokok materi tulisan, izinkan saya bercerita sedikit. Saya bekerja di sebuah kantor yang sistem absensinya sudah menggunakan finger-scan (setor jempol), gak bisa titip tanda-tangan lewat kawan, kalau mau titip jempolnya. Nah, jam kerja terhitung dari jam 08.00 WIB - 16.30 WIB, satu menit saja lewat, misal jam 08.01 WIB, alamat merah, dan terdaftar sebagai pegawai yang telat masuk, dan 2 minggu kemudian bisa dibaca di papan pengumuman bahwa saya pernah terlambat pada tanggal sekian. Oleh sebab itu, setiap pagi saya berusaha untuk tidak telat. Namun entah mengapa, setiap kali hendak ke kantor, saya selalu melihat ke arah jam dinding, dan ternyata itu sudah jam 8 kurang 5 menit saja. Oooooh.. saya harus geber Zupiter Z1 saya seperti Komeng menggeber Zupiter lamanya, saya meliak-liuk dikeramaian jalan lintas Lahat-Palembang, dan tidak ada yang bisa menyalip apalagi menghentikan saya, kecuali satu benda jelek yang bergerak sangat lambat, sampai-sampai sangat alay lambannya.. benda itu disebut kereta babaranjang, kereta batu-bara rangkaian panjang. dan panjaaaaang niaaan!! Nah, apabila saya bertemu dengan benda jelek itu sebelum sampai kantor, alamat saya telat. Dan, di situ kadang saya merasa sedih.
Kembali ke pokok bahasan, konon ceritanya, eksploitasi dan eksplorasi batu-bara di wilayah Tanjung Enim ini sudah berjalan sejak masa kolonialisme Belanda sebelum masa kemerdekaan, dan terus digali, dikeruk dan diangkut, serta dieksploitasi sampai sekarang, dan yang paling menakjubkan adalah, ternyata batu baranya masih banyak, ya... masih banyak. Masih sebanyak apa? konon batu bara di Tanjung Enim ini masih bisa digali sampai 50 tahun kedepan. waww... amazing..!!! itu artinya, kalau saya masih hidup, usia saya sudah 80 tahun lebih.
bersambung....
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar