Kamis, 11 Juni 2015

Tanjung Enim dan Jalur Batu Bara Nasional

MAU DI BAWA KEMANA PERUT BUMIKU..??!!

Saya masih teringat salah satu sesi kampanye Anis Baswedan, yang sekarang telah menjadi Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Republik Indonesia. Ketika itu Anis masih menjadi juru bicara tim sukses Capres No. 2 : Jokowi-JK. Tanpa sengaja saya melihat rekaman kampanye Anis di salah satu kampus, yah.. tentu saja saya tidak tahu dan sudah lupa apa nama kampusnya, yang jelas bukan di kampus saya dulu..

Berkat akses internet lumayan bagus di kantor tepat saya bekerja, saya dapat menonton beberpa video yang disimpan di server youtube dalam satu hari.. Kembali ke Anis, di dalam video youtube itu, Anis memberikan semacam pencerahan kepada para mahasiswa tentang bagai mana memilih seorang pemimpin yang akan menjadi presiden di republik ini.

Anis Baswedan mengkampanyekan kenapa dia pilih mendukung Jokowi-JK, dan bukan mendukung Pasangan No.1 : Prabowo-Hatta. "Saya memilih pemimpin yang memiliki pemikiran yang baru, yang tidak berfikir bahwa sumber kekayaan terbesar bangsa ini adalah alamnya, tetapi sunggu harta paling berharga yang dimiliki oleh negeri ini adalah manusianya, ya, bukan SDA tapi SDM, karena hanya pola pikir kolonial-lah yang berfikir bahwa kekayaan sebuah negara adalah alam", tegas penggagas "Indonesia mengajar" itu. "dahulu bangsa kolonial telah mengeruk kekayaan kita, tidak ada yang dipikirkan dan dikerjakan selain bagai mana caranya mengeksploitasi kekaayaan alam, mau contoh? rel-rel kereta api di bangun dengan pendekatan sumber daya alam, bukan sumber daya manusia, coba lihat..!! rel dibangun ke Tanjung Enim, Sumatera Selatan, juga di Sawah Lunto, Sumatera Barat, dibangun jalur rel kereta ke sumber batu bara, itulah pola pikir bangsa kolonial", lanjut Anis.

Hal yang membuat saya selalu ingat materi kampanye Anis ini adalah karena saya tinggal di Kabupaten Muara Enim, tepatnya di Ibu Kota Muara Enim yang bersisihan dekat dengan Tanjung Enim, tempat yang disebut Anis di atas. Rel kereta api malang melintang di tengah kota, entah dari mana-ke mana saya sampai nggak ngerti lagi, rasa-rasanya mau kesana, ketemu rel, mau kesani, ketemu rel, deket kontrakan ketemu rel, ke pasar lewat rel, mau ke kantor, nyebrang rel. Nah, yang terakhir ini kadang membuat saya merasa sedih.

Sebelum saya lanjutkan ke pokok materi tulisan, izinkan saya bercerita sedikit. Saya bekerja di sebuah kantor yang sistem absensinya sudah menggunakan finger-scan (setor jempol), gak bisa titip tanda-tangan lewat kawan, kalau mau titip jempolnya. Nah, jam kerja terhitung dari jam 08.00 WIB - 16.30 WIB, satu menit saja lewat, misal jam 08.01 WIB, alamat merah, dan terdaftar sebagai pegawai yang telat masuk, dan 2 minggu kemudian bisa dibaca di papan pengumuman bahwa saya pernah terlambat pada tanggal sekian. Oleh sebab itu, setiap pagi saya berusaha untuk tidak telat. Namun entah mengapa, setiap kali hendak ke kantor, saya selalu melihat ke arah jam dinding, dan ternyata itu sudah jam 8 kurang 5 menit saja. Oooooh.. saya harus geber Zupiter Z1 saya seperti Komeng menggeber Zupiter lamanya, saya meliak-liuk dikeramaian jalan lintas Lahat-Palembang, dan tidak ada yang bisa menyalip apalagi menghentikan saya, kecuali satu benda jelek yang bergerak sangat lambat, sampai-sampai sangat alay lambannya.. benda itu disebut kereta babaranjang, kereta batu-bara rangkaian panjang. dan panjaaaaang niaaan!! Nah, apabila saya bertemu dengan benda jelek itu sebelum sampai kantor, alamat saya telat. Dan, di situ kadang saya merasa sedih.

Kembali ke pokok bahasan, konon ceritanya, eksploitasi dan eksplorasi batu-bara di wilayah Tanjung Enim ini sudah berjalan sejak masa kolonialisme Belanda sebelum masa kemerdekaan, dan terus digali, dikeruk dan diangkut, serta dieksploitasi sampai sekarang, dan yang paling menakjubkan adalah, ternyata batu baranya masih banyak, ya... masih banyak. Masih sebanyak apa? konon batu bara di Tanjung Enim ini masih bisa digali sampai 50 tahun kedepan. waww... amazing..!!! itu artinya, kalau saya masih hidup, usia saya sudah 80 tahun lebih.

bersambung....

Rabu, 10 Juni 2015

Pengalaman

Kesan Pertama Menginjakkan kaki di Kantor Imigrasi Tanjung Karang
-Mengurus Paspor atau Surat Jalan Pergi ke Luar Negeri-


Cerita ini dimulai dan disebabkan oleh karena teman saya, loh kog teman? ya, teman menyuruh saya mengikuti tes sebagai peserta Diklat di Luar Negeri yang diadakan oleh Institusi tempat saya bekerja. sebagai teman yang baik, tentu saja saya turuti perintah teman saya tersebut.

Sebelum masuk ke cerita sesungguhnya, ada baiknya saya berikan ilustrasinya terlebih dahulu. Saya tinggal di Kota Bandar Lampung, dapat dibuktikan dengan satu-satunya KPT yang saya pegang. Saya bekerja di Kabupaten Muara Enim, salah satu daerah penyokong batu bara nasional yang terletak di Provinsi Sumatera Selatan, provinsi moyangnya "empek-empek". Jarak dari tempat tinggal saya dengan tempat kerja saya sekitar 400km, atau sekitar 10 jam perjalanan darat dengan menggunakan travel plat hitam (bukan berarti travel gelap loh). Saya pulang ke Bandar Lampung 2 minggu sekali, untuk hari sabtu dan minggu sahaja. dengan demikian, waktu yang saya miliki untuk bertemu dengan anak dan istri hanya 2 hari untuk setiap 14 harinya, sungguh membuat sedih jika harus diceritakan.

Kembali ke Papor tadi, singkat cerita saya berencana membikin Paspor, konon-katanya memiliki Paspor adalah hak setip warga negara Republik Indonesia, seperti halnya KTP. Wah, hak itu artinya ya "hak", punya kita, begitulah kira-kira pemahaman saya. Artinya, saya tinggal datang ke kantor imigrasi, tunjukkan KTP, dan ambil hak saya, sebagai mana mengabil hak bayaran (gaji) saya di kantor, tinggal datang ke bendahara, ambil duit, tanda-tangan kemudian salaman, selesai..!!

Ooo... rupanya bukan begitu yang dimaksud "hak" itu, hak di sini artinya hak boleh membuat Paspor, ya harus mengurus, ya harus mengikuti tetek-bengek  persyaratan untuk memperoleh Paspor. Tentu saja tidak mudah, mungkin karena banyak teroris yang sering keluar masuk negara ini sehingga begitu ketatnya untuk memperoleh passport.

baiklah, begini ceritanya:
pertama-tama, Saya datang ke kantor imigrasi, dengan sedikit tersesat tentunya, masuk, dan bertemu dengan semacam bartender, kalo menurut mereka itu namanya Customer Service (CS), dan saya langsung saja melancarkan pertanyaan,

Saya: siang bu, (kebetulan ibu2, sebenarnya saya berharap ada gadis disitu, sayang, imigrasi  lagi defisit gadis sepertinya).
CS : mau bikin Paspor ya Pak?, ini syaratnya.. (sambil memberikan sepotong kertas potokopian)
Saya : Oya terimakasih bu.

Tertera di dalam kertas potokopian tersebut, syarat permohonan pembuatan Paspor adalah:
1. Foto Kopy Kartu Kelaurga
2. Foto Kopy KTP
3. Foto Kopy Ijazah SMA, saya gak sempat tanya, kalau lulusan SMP gmn ya??
4. Foto Kopi Buku Nikah (bagi yang sudah menikah)
5. Foto Kopy Akta Kelahiran
dengan ketentuan, seluruh dokumen di atas, harus dibawa aslinya untuk ditunjukkan kepada petugas kantor imigrasi, untuk dipastikan keasliannya.
Membayar Biaya ke Bank BNI, untuk passport 48 halaman, biayanya Rp. 355.000,- (tiga ratus lima puluh lima ribu rupiah).

Prosedurnya,
1. Mengambil Nomor antrian
2. Mengisi formulir pendaftaran
3. Mengisi Surat Pernyataan Negara Tujuan
4. Mengikuti sesi wawancara dan sesi pemotretan
5. Membayar biaya ke Bank
6. Mengambil Paspor bila sudah jadi (3-5 hari kemudian setelah dibayar)

Pengalaman Hari H1: 
Datang siang hari, kuota sudah habis, karena 1 hari hanya dibatasi 100 permohonan, akhirnya pulang lagi.

Pengalaman Hari H2:
Datang agak pagian, jam 10-an, sudah habis juga kuotanya, pulang lagi..

Pengalaman Hari H3:
Datang, kesingan lagi, kehabisan kuota lagi... akhirnya mohon dispensasi sebagai pemohon tambahan, mengingat cuti saya sudah habis, dan esok hari harus sudah pulang ke Muara Enim, dan itu jauh banget...

alhamdulillah, saat saya menulis pengalaman ini, saya sedang menunggu Paspor saya yang penuh perjuangan itu jadi...

dan yang paling penting, SEMOGA SAYA JADI BERANGKAT KE LUAR NEGERI, AMIIN..!!